Sore
 itu, diatas teras pembatas rumah  ku duduk menghadap jalan raya dan 
bersandar di dinding. Kusandarkan kepala dan menengadah, ku terawangi 
senja yang perlahan beranjak seakan melambai padaku. 
Dadaku
 sesak, seketika itu ingin rasanya berlari, mengayunkan tangan bagai 
mengepakkan sayap agar bisa terbang menghentikan senja yang berlalu 
meninggalkan ku, karena ku tak ingin malam menjemput dan mendekapku 
dalam buaian mimpi-mimpi yang saat terbangun ku temukan diriku terluka 
karena memendam rasa ku.
Pikiran
 ku melayang saat kami sedang menyusuri gua berlumpur, licin dan terjal 
dengan penerangan headlamp yang dia kenakan. Bahkan harus melalui sungai
 yang agak dalam pada separuh lorong gua. Semantara aku tak bisa 
berenang, hanya modal keberanian dan mengandalkan tim tuk menaklukkan 
tantangan goa itu.
Tim
 kami yang berjumlah 9 orang terdiri dari 3 cewek dan 6 cowok, dua 
diantaranya leader dan sweeper. Kami mulai menapaki lereng goa mengikuti
 leader, aku berada pada posisi kedua dari terakhir, di depan kak Althaf
 yang saat itu sebagai sweeper dan di depan ku ada Assah. Aku berjalan 
dengan sangat hati-hati, tak jarang hampir terpelest hanya karena salah 
memilih pijakan kaki. 
Teman-temanku
 jatuh silih berganti, kali ini aku yang terpeleset ketika menuruni 
tanjakan yang berlumpur, lalu terperosot dan kaki terbenam dalam lumpur 
hingga lutut. Semua teman yang di posisi depan sudah tidak terlihat 
karena belokan, ku menoleh ke kak Althaf, terlihat sedang mencoba 
mencari cara tuk menolong ku. 
Rasa
 takut dan panik dah menyerang ku karena jurang menganga di hadapanq, 
tak ada tempat bertumpuh, hanya cengkraman ku di belakang yang membuat 
ku tertahan tak jatuh lebih dalam lagi. Kuteriaki Assah namun tak ada 
jawaban. Kak Althaf meminta ku tuk tenang dan tidak bergerak sedikt pun.
 Ku perhatikan dia yang sedang mengikatkan webing pada stalagtit lalu 
turun dan menarik ku ke atas. Ku sedikit lega bisa selamat tapi kaki ku 
terasa berat dan gemetaran tuk melangkah. 
Aku diam saja menerawang menunggui kak Althaf melepas webing. 
"Ayo
 jalan !" Dia melangkah, segera ku raih lengannya tuk pegangan karena 
takut terjatuh lagi. Dia pun tak keberatan, malah tersenyum ke arahku, 
melihat senyumnya, serasa semua ketakutan dan kepanikan ku tersapu 
bersih. Kami kembali melanjutkan penyusuran.Setelah melewati lorong gua 
yang terjal, terlihat Assah, Leader dan teman lainnya duduk di ujung 
lorong buntu. Kami mendekat, semua memperhatikan kami hingga sorotan 
headlamp menyilaukan mata kami. 
"Ni,
 ada apa ?" Assah memberi kode. Aku pun menyadari tanganku masih 
melingkar di lengan kak Althaf. Buru-buru ku lepas dan menarik jarak. 
"Tumben Thaf kau baik ma cewek, biasannya juga cuek, siapa sich dia ?" Celoteh salah seorang cewek setimku dengan dingin. 
Kak
 Althaf memegang kedua pundakku "Ini adik ku. Namanya Nini. Anggota baru
 dengan Assah." Aku tersenyum kaku dan salah tingkah. Ku lihat Assah 
terbelalak mendengar pengakuan kak Althaf. Aku sendiri lumayan kaget 
dibuatnya. 
Melihat
 kami semua diam leader mengangkat bicara menjelaskan bahwa untuk bisa 
keluar tanpa memutar arah kembali kami harus melewati sungai yang agak 
dalam di sebelah dinding itu, dia menyorot dinding, terlihat ada cela, 
tepatnya mungkin stalagtit yang sudah menyerupai dinding karena bagian 
bawahnya runcing dan masih meneteskan air. "Ada yang tidak bisa berenang
 ?" Tanya leader. Spontan aku acunkan tangan. "Ngakunya pecinta alam, 
berenang aja gak bisa. Apaan tuh ?!" Sindir cewek yang tadi. "Nini sama 
aku aja, jadi tak perlu dipermasalahkan." Kejengkelanku atas sindiran 
tadi hilang mendengar ucapan kak Althaf. Ku liahat dia mencibir. 
Leader
 kembali memimpin kami melewati cela. Aku melewatinya mengikuti Assah 
dan disusul kak Althaf. Aku tinggal berdiri menyaksikan Assah melompat 
ke air dan berenang menyusuri sungai. "Turun !" Instruksi kak Althaf. 
Tapi aku masih tetap berdiam di tempat. Dia pun turun, kedalaman air 
masih sepinggangnya. 
Aku
 ikut turun dengan ragu-ragu. "Pegang pundakku, ayungkan sebelah 
tanganmu dan kedua kakimu bersamaan !" Instruksinya setelah aku berdiri 
tepat di sampingnya. aku mengangguk lalu meletakkan tangan kiriku di 
pundak kanannya. kami pun mulai berenang. setelah beberapa menit 
berenang, kami berhenti. "Istirahat bentar !" Pintanya sambil 
mengarahkan ku berpegangan di dinding goa yang begitu licin, agar dia 
bisa rileks sejenak. "Eh, kak kok air bergelombang gini ?" Tanyaku heran
 merasakan hempasan air ke tubuhku. "Aku juga tidak tahu." jawabnya 
cuek. aku sedikit kesal. Semakin lama hempasan air makin keras hingga 
peganganku lepas. “Kaaaak...” Teriakku ketakutan dan mengepakkan tangan 
berusaha bertahan agar tidak tenggelam. berkali-kali ku menelan air. 
seketika Kak Althaf menarik lenganku, segera ku lingkarkan tanganku di 
lehernya saat bisa menjangkaunya. Dia berusahan menenangkan saat melihat
 ku sangat ketakutan. kemudia kami kembali melanjutkan penyusuran. 
Cahaya
 penerangan kami melebur dengan cahaya tersebut, kami pun mulai berjalan
 karena air sudah agak dangkal, beberap langkah berikutnya sejajaran 
perut, sepangkal paha kemudian selutut, bahkan setumit. Namun karena 
jalanan sangat licin , aku masih berpegangan pada kak Althaf hingga kami
 bergabung kembali dengan tim. Lalu kami semua keluar dari jangkauan 
air. “Salam Lestari !” Sontak kami semua menoleh ke sumber suara yang 
tak jauh di belakang kami dan serentak menjawab “Tetap Lestari !’ “Fiz, 
punya berapa webing ?” Tanyanya setelah mematikan headlampnya. Terlihat 
jelas kak Syahran melempar senyum ke arah kami. 
Dia
 salah seorang dari leader tim lain. “Ada dua. Kenapa ?” sahut leader. 
Baru kali ini aku tahu kalau dia disapa dengan Fiz. “Boleh ku pinjam ?” 
kak Syahran berjalan melewati ku. “Boleh, tuh ma Althaf.” Dia 
menghampiri kak Althaf. Tanpa kata kak Althaf menyodorkan webbing 
padanya. Dia menyondongkan muka ke dekat telinga kak Althaf lalu 
berbisik. “Apa gadis kecil ini merepotkan mu ?” bisikannya masih 
terdengar jelas oleh ku karena aku masih memegangi lengan kak Althaf. 
Spontan
 ku layangkan tinju ke perutnya. Namun sebelum mendarat, dia segera 
menangkisnya lalu mmenjitak kepalaku. Aku meringis. “Siapa yang gadis 
kecil ?!” protes ku dengan cemberut dan meninggalkan mereka berdua. 
“Jiaah, gitu aja kok ngambek, memang kayak anak kecil beneran !” aku tak
 menghiraukannya lagi. “Fiz, thanks yach ! Thaf, tolong jagain ade’ ku!”
 ucapnya sedikit berteriak. “Baik kak.” Jawab kak Althaf. Kak Syahran 
meninggalkan kami, kemudian kami melanjutkan perjalanan. "Ma aku ngambek
 juga nich ?" Tanyanya agak berbisik di dekat telinga ku, lalu 
menyenggol ku. Aku tak menggubrisnya dan terus berusaha melewati 
bebatuan yg berlumpur. "Heeeih..." dia mencolek pipi ku. Ku rasakan 
lumpur menempel dr tangannya. Ku masìh tak menggubrisnya, ku bersihkan 
lumpur tersebut dengan lengan baju ku, seraya mempercepat langkah ku. 
Tanpa menyadari keberadaannya, tiba-tiba kedua tangannya yang berlumur 
lumpur telah menempel di pipi ku. Aku terhenti "Huaah rese' !!!" Ku raìh
 kedua lengannya. Dia terkekeh sambil mengolesi muka ku lumpur. "Ni, 
buat orang yang suka ngambek." Dia mengoleskannya ke suluruh muka ku. Ku
 dengar Assah cekikikan. Segerah ku tarik lengan kak Althaf yang masih 
menempel di muka hinggah menyanggah di pundak ku. 
Tangan
 kanannya ku jabat tuk mengambil lumpur yg masih melekat, ku putar badan
 agar bisa melihatnya tanpa melepas peganganku pada lengan kirinya 
hingga posisinya setengah melingkar di leher ku. "Yang ini lulur 
tradisional biar kakak jadi lebih tampan." ku terkekeh dan terus 
melumuri muka serta lehernya. 
Dia
 hanya pasrah menerima pembalasan ku. "Eh, liat tuh !" ku menengok ke 
arah yang kak Althaf maksud, terlihat semua teman kami juga ikut-ikutan 
ngolesin lumpur. Ku kembali menoleh ke Kak Althaf, sempat kami beradu 
pandang lalu tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi mereka.  Aku jadi 
tertawa sendiri mengingat hal tersebut, lalu tersentak saBottom of 
Format "Fly me to the moon" terdengar dari ponsel ku. K'Althaf is 
calling. Ku pandangi ponselku, aku ragu tuk menjawabnya. 
Kedua
 kalinya ponselku berdering karena Kak Althaf. Aku masih belum 
menjawabnya. Ponselku kembali berdering, yang ketiga kalinya K'Althaf 
memanggil. Akhirnya aku pun menjawabnya.  "Halo" dengan suara pelan dan 
sedikit gugup."Assalamu Alaikum !" Terdengar suara dari balik telepon. 
"Waalaikumussalam" Balas ku."Tolong temui aku ! sekarang ku di depan 
rumah mu." pintanya. Tanpa menunggu jawaban dari ku, telepon 
terputus.Ada sedikit ragu tuk menemuinya, setelah setahun menjauh dan 
menutup diri darinya. Air mataku menetes, segera ku hapus, dah terlalu 
banyak air mataku menetes karena menahan rindu yang menderaku. 
Karena
 menyesal telah mengabaikannya selama ini. Karena telah mencoba mengubur
 rasaku padanya. Semua itu telah menguras air mataku. Namun akhirnya ku 
putuskan tuk menemuinya.Ku berjalan gontai ke luar, ku lihat dia berdiri
 di dekat mobil membelakangi gerbang. Ku himpun keberanian tuk 
menyapanya.“Hai kak !” dengan suara trbata-bata, tak percaya dia 
bener-benar menemui ku.“Ikut sebentar !” dia menarik lengan ku, menuntun
 ku masuk dalam mobil.Mobil terhenti di taman kota, dia berjalan menuju 
tempat duduk tepat di tengah taman. Sinaran lampu neon turut menambah 
keindahannya. Dia duduk, ku juga ikut duduk tepat di sebelahnya.“Ada apa
 kak ?” ku pecah kesunyian.“Apa ini ?” dia menyodorkan secarik kertas 
dengan coretan tangan yang tak asing buat ku. Tentunya karena itu 
tulisan tangan ku sendiri.
Aku
 ingin berharap lebih, lebih dari yang bisa dia berikan, lebih dari yang
 bisa ku jangkau. Adakah ini keserakahan ?! Tapi aku benar-benar ingin 
berharap lebih, jauh lebih dari keterbatasan ku. Namun terkadang 
seketika keinginan itu sirna hanya karena setitik keangkuhan. Tuk 
mengakui rasa untuknya.“Bukan apa-apa, hanya sekedar coretan, dapat dari
 mana ?” ku lipat kertas itu dan hendak memasukkannya dalam saku baju 
ku. Tapi segera ia rampas.“Tak penting. 
Aku
 hanya berharap ini untuk ku.” Dia menggenggam kedua tangan ku dan 
menatap ku lekat-lekat. Ku hanya pandangi dia, mencari keseriausa atas 
ucapannya dan tak ku temukan keraguan di matanya, tapi aku yang ragu tuk
 mengakuinya. “Sungguh ! aku juga menginginkannya dan ini bukan 
keserakahan.” Lanjutnya meyakinkan ku. Ku masih terpaku menatapnya, tak 
terasa air mata ku meleleh hingga ia menyekanya. Aku tersentak dan 
kembali menyekanya. Tak satupun kata yang bisa ku ucapkan, ku hanya bisa
 menganggukkan kepala membenarkannya. Dia mengecup kening ku. Aku 
memeluknya dengan erat seakan tak ingin melepasnya. “Tak perlu ada hari 
esok, jika harus tanpa mu lagi” bisiknya dan mempererat dekapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar