"Mi, ayo cepat ikut aku", ajak Tiar tiba-tiba sambil menarik tanganku 
untuk segera beranjak dari duduk ku. "Kemana?", tanya ku bingung, sambil
 mulai beranjak untuk berdiri. "Ikut saja", kata Tiar yang terdengar 
bagaikan perintah di telingaku.
Ku ikuti langkah Tiar yang menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. 
"Ada apa Tiar?", aku pun bertanya karena tak kuat menahan penasaran oleh
 tingkah aneh sahabatku itu pagi ini. Tiar tak menjawabku, malah 
langkahnya semakin cepat menuruni anak tangga menuju lantai dasar.
Tiar berjalan terus dan akhirnya berhenti di parkiran. Aku masih merasa 
bingung, dan kembali bertanya kenapa aku diajak ke tempat ini. "Lihat 
itu!", Tiar berbisik kepada ku sambil menunjuk tangannya ke ke dua orang
 pemuda yang sedang berbincang-bincang dengan asik. "Memang kenapa 
dengan mereka?", tanyaku semakin tidak mengerti. "Kamu lihat yang 
memakai kemeja abu-abu itu, dia Ditho, Mi", jawabnya. "Ditho siapa?", 
aku semakin tidak mengerti.
 "Pangeranku kembali", terang Tiar yang membuat aku semakin tak 
mengerti. Ku lihat raut wajah Tiar sangat khusuk memperhatikan laki-laki
 yang dia sebut pangerannya tersebut sampai akhirnya laki-laki itu 
menaiki mobilnya dan keluar dari pelataran parkir."Oh, God!", si hitam 
kumat lagi, dia berhenti tiba-tiba tanpa aku sendiri tahu apa sebabnya. 
"Bagaimana ini?", gumamku sambil melihat cakrawala sore telah 
menampakkan sinar kuning keemasannya menuju pekatnya malam. Ku dorong 
sepeda motorku itu perlahan-lahan menyusuri jalan A.Yani. dan tiba-tiba,
 "Perlu bantuan?", ku dengar suara yang keluar dari sebuah sedan biru 
yang menghampiriku.Kucari wajah darimana suara itu berasal, "Ya ampun, 
Ditho???", tanya ku sambil terbelalak melihatnya wajah pangerannya Tiar 
di parkiran pagi tadi ada di depanku sekarang.
"Kamu kenal aku?", Ditho bertanya heran kepadaku. "Ya, kamu temannya 
Tiar kan?", jawabku sambil balik melontarkan tanya kepadanya. "Tiar? 
maksudnya?", kulihat raut bingung yang terpancar dari muka yang cukup 
tampan itu. Akhirnya, kita sedikit berbincang-bincang, sambil ku lihat 
Ditho berusaha memperbaiki si hitam. "Kenapa Ditho tidak mengenal 
Tiar?", gumamku dalam hati menyimpulkan dari perbincangan kami itu.
Sampai juga aku di kost-an ku, "Untung saja ada Ditho", gumamku sambil 
merebahkan tubuhku yang terasa penat di tempat tidur. "Pikiranku kembali
 melayang ke Tiar, "kenapa Tiar menyebut Ditho pangerannya sedangkan 
Ditho sendiri tidak tahu siapa dia?", dan pertanyaan itu ternyata 
menjadi penutup pemikiranku menghantarkan ke dunia bawah sadarku malam 
itu.
"Hello Ladies!!", suara cempreng Tiar memecahkan konsentrasi dari 
pekerjaanku. "Makan siang dulu yuuk, dah jam dua belas lewat neeh...", 
ajaknya. "Oke deh, kemana kita?", tanyaku pada sahabatku yang rada 
centil ini. "Martabak HAR aja yuuk, kangen neeh", jawabnya sambil 
tertawa-tawa.
Akhirnya, sampai juga kami di Rumah Makan Martabak HAR yang berada tepat
 di depan Masjid Agung Palembang ini. Baunya yang sedap, membuat kami 
tak sabar menantinya tiba di hadapan kami. Sambil menunggu, kami 
menghirup teh botol yang telah kami pesan dahulu sambil mengobrol. "Hai 
Ami!", kami dikejutkan suara laki-laki yang telah ada di depan kami itu.
 "Boleh gabung?", tanya Ditho sang empunya suara yang di jawab dengan 
anggukkan pelan kami berdua.
"Kenalkan, aku Ditho?", suara Ditho memecahkan keheningan yang terjadi 
sambil mengulurkan tangannya kepada Tiar. "A..Aku Tiar...", sambut Tiar 
dengan terbatah-batah. "Tiar?", nada suara Ditho bertanya sambil melirik
 ke arahku. "Iya Tiar, yang aku ceritakan kemarin", jawabku dengan 
sedikit bingung dengan situasi yang berlangsung ini.
Sambil menikmati Martabak HAR yang telah terhidang, aku memperhatikan 
gerak-gerik Tiar yang sangat tidak biasa itu. "Kemana tenggelam 
cerewetnya sahabatku itu?" tanya ku dalam hati.
"Mi, kamu kenal Ditho?", tanya Tiar ketika dalam perjalanan pulang ke 
kantor. Aku kemudian menceritakan kejadian kemarin sore kepada sahabatku
 itu. "Kenapa Ditho tidak mengenal mu Tiar?", akhirnya aku menanyakan 
juga pertanyaan yang sudah lama sekali ingin kutanyakan kepada sahabatku
 itu. Kulihat Tiar hanya tersenyum sambil melihatku mengemudikan baleno 
putihnya itu.
"Aku mengenal Ditho dari kuliah dulu Mi, kita beda fakultas", Tiar 
akhirnya bersuara setelah beberapa menit kita terhanyut dalam 
keheningan. "Hubungan kami sangat indah, Mi kita berniat untuk segera 
bertunangan setelah wisuda. hingga akhirnya ketika saatnya kita 
diwisuda, aku mendengar kabar kalau Ditho mengalami kecelakaan, dia tak 
pernah datang di hari wisudanya Mi. Aku langsung menuju rumah sakit 
setelah acara wisuda-an selesai. Tiga malam aku dan keluarga Ditho 
menungguinya koma di ruang UGD, sampai akhirnya dokter menyarankan untuk
 melakukan operasi karena ada pembuluh saraf di kepala Ditho yang 
ternyata menjadi penyebab koma nya tersebut. Tapi, kita diberi pilihan 
yang sulit Mi, kata dokter kalau operasi pebuluh saraf tersebut 
dilakukan, dapat menyebabkan sebagian ingatan Ditho akan terhapus. Tidak
 ada pilihan Mi, akhirnya kita melakukan apa yang disarankan dokter", 
jelas Tiar. Kulihat air mata yang menetes di wajah sahabatku itu.
Satu minggu kemudian, Ditho akhirnya sadar dari komanya. kami semua 
senang, tapi ternyata apa yang dokter katakan ternyata terjadi, Ditho 
tidak mengenali kami. Dia histeris Mi, dia shoke sekali pada saat itu. 
Kulihat mama hanya bisa menangis melihat keadaan anak laki-laki 
satu-satunya itu. Satu tahun kemudian dari kejadian itu. Ingatan ditho 
sudah mulai terbangun. Tapi sayang ternyata kenangan ku dengannya tak 
ada satupun yang melekat di ingatannya. Walau mama sudah juga berusaha 
untuk membantu Ditho mengingatku, tapi semuanya nihil Mi. Sampai 
akhirnya Ditho memutuskan untuk melanjutkan pengobatannya ke Jepang.
Aku sangat mencintai Ditho Mi, aku akan selalu menunggunya sampai ia 
bisa mengingatku. Hanya dia pangeranku.... dan sekarang dia telah 
kembali Mi setelah dua tahun aku menantinya kembali dari Jepang.
Aku tak bisa berkomentar lagi, kulihat sahabatku itu sudah menangis 
terisak-isak, dan lirih Lagu Menjaga Hati dari Yovie and the nuno dari 
radio menghanyutkan kami dalam kebisuan dan pemikiran kami masing-masing
 sampai akhirnya tiba di kantor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar