Hatinya
 dirinding ketakutan. Dee ingin mengejar ketakutan itu sampai dia tahu 
hidupnya masih punya harapan.Langit masih mendung. Bintang belum juga 
tampak untuk dilihat. Dee mengajakku melintasi padang ilalang, 
menelusuri jalan becek yang sore tadi diguyur hujan.’’Kita mau kemana?” 
tanyaku dengan nada heran.’’Ayolah! Ikut aja”.Kakiku mulai kelelahan 
mengikuti irama langkah Dee. Baru kali ini aku melihat Dee yang penuh 
semangat. Penasaran membuatku juga bersemangat untuk terus berjalan. 
’’Setelah sampai kita akan menemukan keragaman jiwa yang pernah 
dibungkam oleh kesepian.”Aku bertambah heran. Sesuatu yang dimaksud Dee 
bukanlah hal yang mustahil untuk ditanyakan. Di perbukitan ini, tidak 
mungkin ada manusia yang berani naik dalam keadaan seperti ini. Jalannya
 licin. Batu kecil dan besar menganga, siap memangsa kaki yang 
menginjaknya. Tidak menutup kemungkinan jka ular juga siap mematuk. 
Namun Dee membuktikan bahwa dirinya bisa melalui itu. ’’Tolol” umpatku 
dalam hati. Aku sudah tidak sanggup berjalan lagi meski semangat itu 
menggebu. Jari kakiku sudah menjadi korban keganasan batu alam. Sayatan 
kecil disertai percikan darah membuatku engah untuk melanjutkan 
perjalanan. Dee melihat luka dikakiku. Dia malah tertawa mengejek.’’Kamu
 memang gak pernah tahu penderitaan orang lain” ungkapku sembari menahan
 kesakitan.Dee tak henti mengejekku. Muuuach. Sesuatu mengenai keningku.
 Perasaanku berubah drastis. Ciuman itu…’’Kita hampir sampai” 
ucapnya.Aku masih terpaku dengan hadiah yang pertamakali Dee berikan. 
Dunia ini seakan menjadi perlintasan antara aku dan Dee. Apa yang aku 
rasakan saat ini bukanlah sebuah perasaan kosong. Dee telah berbuat apa 
yang belum aku sangka sebelumnya. Ciuman yang sangat spesial bagiku.Dee 
manarik tanganku. Dari jarak 15 meter bukit maya sudah terlihat. Kami 
kembali melanjutkan perjalanan.’’Kamu yakin akan menemukan keindahan 
setelah ini” tanyaku lagi.’’Bawel. Nanti lihat aja sendiri”.Aku terdiam.
 Barangkali benar. Keindahan itu sudah hampir tampak. Cahaya gemilang 
berpijar dari atas bukit maya. Itukah yang dimaksud Dee dengan dunia di 
atas awannya. Aku tak sabar lagi untuk sampai ke bukit itu. Bersama Dee 
aku menemukan sebuah dunia baru. Dunia yang hanya Dee yang tahu 
keberadaannya. Dan sekarang aku juga tahu. Dee semakin erat menggenggam 
tanganku. Mendung sudah hilang, berganti gemerlap bintang-bintang. Kami 
sudah menginjakkan kaki di atas bukit Maya. Dee… kau adalah wanita yang 
beda.                                                   
* * * *
Di
 bukit maya, Dee pertamakali bertemu dengan Kinnara*1 . Dia mengajak Dee
 terbang mengelilingi indahnya surga. Dia juga banyak bercerita tentang 
seorang bidadari yang ingin keluar dari kungkungan Tuhan. Bidadari itu 
meminta pada Tuhan agar diberikan satu perasaan, yaitu cinta. Tuhan 
murka mendengar permintaan bidadari itu. Bidadari tetaplah bidadari yang
 harus tunduk pada aturan kerajaan Tuhan. Dia tak diberikan perasaan 
apapun kecuali melaksanakan titah sang raja. Bidadari itu kabur ke 
dunia. Dia memberontak pada aturan. Lalu, Tuhan mengutuknya menjadi 
seorang gadis yang malang. Gadis itu terdampar di sebuah bukit yang 
gersang, sepi, dan jauh dari permukiman. Pertamakali gadis itu tak tahu 
apa yang hendak dilakukan. Ia menemukan pohon kecil yang tumbuh. Dengan 
cinta yang dimilikinya, ia memelihara pohon itu.Bertahun-tahun gadis itu
 berada di atas bukit. Pohon yang dirawat juga tumbuh besar, sehingga 
dia membuat tempat tinggal di bawahnya. Gadis jelamaan bidadari itu 
merasakan apa yang dilaluinya di bukit itu terasa hambar. Ia punya 
cinta, tapi tidak tahu kemana cinta itu tertambat selain kepada 
tumbuhan. Kembali dia bertanya pada Tuhan tentang takdirnya sebagai 
manusia. Namun kali ini Tuhan tak mengindahkan permintaannya untuk 
diberikan seorang yang bisa mendampingi dirinya. Ia tak percaya lagi 
pada Tuhan. Tuhan pun bertambah murka. Kemudian Tuhan memberikan dua 
pilihan padanya. Ia kembali ke surga sebagai hamba sahaya atau tetap 
berada di atas bukit tanpa ditemani seorang manusia. Gadis itu tetap 
dengan pilihannya untuk tetap tinggal di bukit itu walau dia harus 
sendiri. Dengan keikhlasan serta resiko yang harus ditanggungnya, ia 
menghabiskan waktu hidupnya di bukit maya. Cinta yang dimiliki gadis 
menjelma menjadi gumpalan awan disertai bintang-bintang. Gadis itu oleh 
penduduk sekitar dinamakan Maya, sehingga bukit itu dinamakan bukit 
maya. Tiap malam, bukit itu bersinar terang. Tidak semua orang bisa 
melihat keindahannya, cuma jiwa sepi yang bisa menikmati keindahannya. 
Begitulah cerita Kinnara tentang perjalanan bidadari kepada Dee.     
* * * *
Kami
 melepas lelah. Setelah hampir 2 jam berjalan, apa yang ingin 
ditunjukkan Dee sangat menakjubkan. Tempat menepi dari kegundahan, 
keresahan, dan perasaan haus akan bersama dengan diri sendiri bisa 
kutemukan disini.’’Apa yang kamu lihat ini belum apa-apa”, Dee 
menerawang pada bekas petang yang tersisa. Bulan sabit mulai meninggi. 
Kabut bergumul dengan alam, memberi hawa dingin bagi kami. ’’Bukit ini 
masih menyisakan kenangan”’’Dee sering kesini?”’’Tubuhku sudah tidak 
mengizinkan lagi”’’Maksudmu apa Dee?’’’’Tak ada yang lebih mengerti 
keadaan ini dari pada diri sendiri”. Kali ini Dee ingin menerjemahkan 
semua perasaannya. Dee memetik setangkai bunga, dan memberikannya 
padaku. Bunga itu hampir layu. Aku kembali bertanya pada diri sendiri 
kenapa Dee tidak memetik bunga yang baru mekar di sebelahnya. Sikap Dee 
memang membuatku heran. Selama perjalanan dia membuat peristiwa yang 
kurasa janggal untuk dilakukannya. Dia bukan Dee yang aku kenal. Malam 
ini sikapnya sangat beda, mulai dari mencium keningku, membuatku kesal, 
bahkan semangatnya untuk mencapai bukit ini begitu besar.’’Kamu kenapa, 
Dee?”Dee cekikikan. Benar dugaanku, sikapnya mulai aneh.”Nikmati saja 
dunia ini. Bukanlah kini semua yang ada bersamaku punya tujuan. Termasuk
 kamu. Selama masih ada waktu, kita bisa mencapai tujuan itu. Namun 
sayang, aku sudah tidak punya waktu untuk mencapai tujuanku 
sendiri.””Kamu itu aneh Dee?”Sambil tertawa ia memegangi kedua pundakku 
”Apanya yang aneh. Lihatlah mataku. Air mataku tidak akan mengalir, 
karena aku masih punya waktu untuk mengenang tempat ini. Setelahnya aku 
akan pergi.”Gaya bicara Dee semakin ngelantur. Peristilahan yang 
diucapkannya menambah kejenuhanku untuk berpikir.”Kamu mau kemana? 
Mati?” ejekku. Dee menertawaiku sambil menepuk pundakku.”Jika kematian 
terjadi malam ini, aku siap. Mungkin waktuku sudah tidak banyak 
lagi.”Kami terkesiap oleh hempasan angin. Suara di sekitar kami hening. 
Kami tidak berbuat apa-apa. Kami duduk berpaku lutut, memandangi alam 
berjumawa pada keadaan. Aku melihat Dee. Penampilannya yang tomboy 
kadang membuatku bosan mewanti-wanti untuk merubah penampilan seperti 
wanita pada umumnya. Malam ini ada cahaya seakan keluar dari tubuh Dee. 
Begitu terang, mengalahkan semua cahaya di bukit ini.”Dee…”Tiba-tiba 
tubuh Dee terkapar. Ia pingsan. Wajahnya pucat. Tubuhnya demam. Aku 
berteriak. Aku mencoba melakukan sesuatu yang bisa aku lakukan demi 
menolongnya. Pikiranku langsung tertuju pada tas ransel miliknya. Aku 
mencari sesuatu di dalamnya, entah itu obat-obatan atau barang lainnya. 
Dan aku menemukan sebuah bungkusan kecil, sepertinya berisi 
obat-obatan.”Dee bangunlah.” Ia tak bereaksi. Demamnya semakin tinggi. 
Aku membuka bungkusan itu, dan ternyata….”Obat ini ??”Aku tidak percaya.
 Dee mengkonsumsi obat-obatan ini. Obat-obatan yang pernah aku belikan 
untuk Vivid. Dee mengidap penyakit….!”Arggghhh.. kenapa harus terulang 
lagi. Kejadian 3 tahun lalu kenapa harus dialami lagi oleh orang 
terdekatku”.Dengan sisa tenaga yang aku miliki, tubuh Dee kugendong. Aku
 berlari sekencang mungkin melewati semak, menerobos padang ilalang, dan
 menghancurkan ranjau-ranjau perbukitan. Dee harus diselamatkan. Sebagai
 teman dekatnya aku sangat menyesal, karena tidak tahu keadaannya. Apa 
lagi mengenai sakit yang diderita. Aku ini teman tak berguna. Dee, 
maafkan aku. Kamu tidak sendiri, masih ada aku yang setia menemanimu. 
Kita adalah dua insan yang berkarakter sama. Sifat kita introvert. Kita 
punya dunia sendiri. Dunia yang kita cipta sendiri. Bertahanlah Dee. 
Kita hampir sampai di permukiman penduduk. Kamu akan baik-baik saja.    
                                                                        
            
  * * *
Dee
 koma, ia terbaring di ruang Anggrek RS. Cipta Medika. Mukanya pucat. 
Harapan dan keyakinannya mengecap dalam pusaran tubuh lemahnya. Dia 
bermain sendiri dalam dunianya. Saya yakin Dee tidak koma, tapi dia 
menghampiri ruang angannya. Setelah semalam dokter melakukan 
kolrposkopi*2 , keadaanya semakin membaik. Dua orang pemuda datang 
membesuk Dee. Aku berada di luar kamar mempersilahkan mereka masuk. Di 
dalam kamar, ibu Dee sedang menunggu anaknya siuman.”Anda temannya?” 
sapanya. Aku sedikit kesal dengan sapaannya. Nada bicaranya tidak 
sopan.”Betul” jawabku sekenanya.Tampak salah satu pemuda sudah akrab 
dengan keluarga Dee. Dia mungkin punya kedekatan emosinal dengan mereka.
 Aku cuma bisa menyaksikan dia akrab berbincang-bincang dengan ibunya 
Dee. ”Siapa dia” tanyaku pada diri sendiri.Aku ingin acuh pada 
pertanyaanku tentang jati diri pemuda itu. Aku ingin berhenti bertanya, 
tapi tidak bisa. Mungkinkah aku cemburu pada dia. Tidak mungkin. Aku dan
 Dee adalah sahabat, tidak lebih. Kedatangan pemuda itu membuat 
perasaanku risau. Padahal aku tidak punya ikatan apa-apa dengan Dee 
selain dari pada sahabat bermain dan bercanda.Hidup Dee memang penuh 
dengan rahasia. Aku mengenalnya baik, dan sampai sekarang tidak bisa 
mengerti keadaannya. Dee sakit pun aku tidak pernah tahu. ”Dia masih 
terbaring” ucapnya padaku.”Keadaan yang mengharuskan dia begitu” 
balasku.”Setahun silam aku meninggalkan dia. Dia begitu spesial bagiku. 
Kami berbeda. Dee sangat mencintaiku, begitu pula denganku”.”Cinta itu 
kadang memilukan” ”Ya, karena itu aku meninggalkan Dee. Aku tidak bisa 
melanjutkan hubungan kami karna kami memang berbeda.””Berbeda dari 
apa?Kamu meninggalkan dia karena sakit kan?””Tepat. Aku tidak mau 
menjalani cinta jika suatu saat ditinggal mati”.”Brengsek. Kenapa kamu 
sekarang kesini?”Dia diam. Lorong rumah sakit menjadi ajang adu argumen 
antara kami.”Semua telah terjadi. Penyesalan tiada arti. Hidup ini 
adalah pilihan, dan aku memilih untuk seseorang yang lebih kucintai. Aku
 kesini karena aku masih mencintai Dee”Hatiku langsung bergemuruh. Aku 
tak menyangka masih ada seorang seperti dia. Meninggalkan kekasihnya 
dengan alasan pasangannya sakit. Pemuda itu melanjutkan 
perkataannya.”Dee punya harapan. Dia pernah punya keinginan untuk pergi 
ke sebuah dunia miliknya. Dunia di atas awan. Semoga kamu bisa 
memenuhinya.””Dia….Dee sudah pergi ke dunia itu. Sebelum dia tertidur di
 atas pembaringan. Bodohnya kenapa aku tidak tahu kalau dia mengidap 
kanker”.”Dee sudah siuman. Dia memanggil namamu” panggil ibu Dee 
padaku.Aku lekas menghampiri Dee. aku ingin selalu berada di sampingnya.
 Tangannya bisa bergerak sedikit. Matanya sayu menatapku penuh arti. Dia
 tersenyum, dan akhirnya tangan itu tak bergerak lagi. ”Dee… kamu tidak 
akan mati hari ini. Semangatmu untuk bermain di bukit Maya akan 
mengalahkan sakitmu. Aku bersedia menemanimu bermain di sana, di bukit 
Maya yang berada di dunia di atas awan.”Air mataku mengalir. Detak 
jantung Dee semakin melemah. Haru ini bukan milikku saja. Ibu Dee dan 
pemuda yang meninggalkannya juga merasakannya. Kini, ruangan itu menjadi
 berkumpulnya hati yang setia bersama Dee. 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar